Buku Novel Cerita Serial Silat Indonesia Pendekar Kong ouw

User info

Welcome, Guest! Please login or register.


You are here » Buku Novel Cerita Serial Silat Indonesia Pendekar Kong ouw » Asmaraman S. Kho Ping Hoo (Silat Indonesia) » Serial Pecut Sakti Bajrakirana » Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 1 hingga Tamat, Asmaraman S. Kho Ping Ho


Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 1 hingga Tamat, Asmaraman S. Kho Ping Ho

Posts 1 to 3 of 3

1

Di sini anda bisa membaca secara online cerita silat serial Pecut Sakti Bajrakirana yang dikarang oleh penulis cerita silat terkenal yang bernama Asmaraman S. Kho Ping Hoo.

KATEGORI
Karakter Tokoh:

https://forumupload.ru/uploads/001b/2b/22/2/100567.png
Gambar:
Novel / Cerita Silat

Koleksi Cerita Silat Indonesia:
Serial Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 01
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Baca Cerita

Malam Jumat kliwon yang gelap pekat dan menyeramkan dalam tahun 1613. Dilereng Gunung Kawi yang sunyi sepi itu suasananya demikian angker dan menyeramkan. Sebuah pondok kayu yang berdiri di lereng sebelah timur tampak sunyi diselimuti malam. Hanya sebuah lampu gantung kecil menerangi depan pondok, sinarnya yang lemah menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan, menjadikan rupa-rupa bentuk yang mengerikan. Pohon-pohon besar di sekitarnya yang tersapu angin malam tampak seolah-olah menjadi hidup dan bergerak-gerak.

“Kulik-kulik-kulik......!” Suara burung malam yang terdengar lapat-lapat menambah seram suasana dan bau kemenyan menyengat hidung. Bau kemenyan ini mengingatkan orang-orang mati dan setan iblis belasakan.

Terpisah dua lereng di bawah pondok itu lapat-lapat dapat terdengar suara anjing meraung, datang dari arah dusun di sana yang tampak lampunya berkelap-kelip dari lereng di pondok itu. Tentu malam itu tak seorang pun dari para penduduk dusun itu berani keluar, karena telah menjadi kepercayaan turun temurun bahwa malam Jumat kliwon adalah malamnya bangsa setan demit dan iblis yang berkeliaran di permukaan muka bumi untuk menggoda manusia.

Di dalam pondok kayu itu pun suasananya sepi sekali seolah pondok itu tidak ada penghuninya. Padahal penghuni pondok itu sedang duduk bersila di atas pembaringannya. Seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun, rambutnya yang sudah hampir putih semua itu digelung ke atas dan diikat kain berwarna kuning. Jubahnya seperti jubah pendeta yang berwarna putih dan hanya merupakan pakaina yang amat sederhana. Wajahnya masih tampak segar seperti wajah seorang muda saja, terutama sekali sepasang matanya yang lembut itu kadang mengeluarkan cahaya mencorong, menandakan bahwa dia seorang pendeta atau pertapa yang memiliki kesaktian dan tenaga dalam yang amat kuat.

Dari pintu kamarnya muncuk seorang pemuda yang segera duduk bersila di bawah pembaringan. Melihat pertapa itu seperti orang dalama samadhi, pemuda itu tidak berani menggangunya, hanya duduk diam seperti gurunya, bersila dan memangku kedua tangan. Tak lama kemudian keduanya sudah tenggelam ke dalam samadhi mereka dan suasana menjadi semakin sunyi. Siapakah pendeta itu? Dia seorang pertapa yang sudah bertahun-tahun bertapa di lereng Gunung Kawi. Namanya disebut orang Bhagawan Sidik Paningal. Seorang tua yang bertubuh jangkung kurus, yang mukanya masih segar seperti muka orang muda dan wajah itu masih terdapat bekas wajah seorang pria yang tampan dan lembut. Adapun pemuda yang duduk bersila di bawah pemabaringan itu adalah Sutejo, muridnya yang terkasih. Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang dan kedua pundak dan lengannya tampak kokoh kuat. Wajahnya tampan dengan sepasang mata lebar yang memandang dunia dengan sinar mata cerah dan penuh semangat, sepasang alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengandung senyum yang ramah. Dagunya berlekuk menambah kejantanan wajah itu, dan kulit tubuhnya juga bersih kemuning. Rambutnya panjang ditekuk dan digelung ke atas, diikat dengan sehelai kain biru. Bajunya berlengan penadek sebatas siku, celananya hitam sampai ke betis dan sehelai sarung dikalungkan di pundak kiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia menghadap gurunya bersamadhi, diapun tidak berani menggangu, hanya mengikuti contoh gurunya, ikut pula bersamadhi di depan gurunya.

Tiba-tiba Bhagawan Sidik Paningal terbatuk-batuk tiga kali. Batuk yang lebih merupakan isyarat kepada muridnya yang berada di depannya bahwa dia kini sudah sadar dari samadhinya dan isyarat itupun bertanya apa keperluan muridnya memasuki kamarnya dan menghadap.

Sutejo menangkap isyarat itu dan menyembah. “Mohon maaf Bapa, bahwa saya berani menghadap dan mengganggu samadhi Bapa. Akan tetapi, Bapa, sejak senja tadi,saya merasakan sesuatu yang aneh, suasana yang berlainan sekali daripada malam-malam yang lain. Seluruh perasaan saya tergugah, bahkan batin saya merasa terkacau oleh suatu tenaga yang rahasia. Karena itu saya berani mengganggu Bapa untuk minta penjelasan apa artinya semua yang saya rasakan pada saat ini.”

“Hong wilaheng.... Andika juga merasakan itu, Sutejo? Bagus, hal itu menunjukkan bahwa andika telah memiliki kepekaan. Memang apa yang andika rasakan itu ada sebabnya, cukup. Sekarang cepatlah engkau pergi ke belakang, mengambil air jernih sepiring dan letakan piring itu di depan kita di sini. Cepat, mereka telah mulai menyerang!”

Sutejo terkejut. Siapa yang mulai menyerang? Dan menyerang bagaimana yang dimaksudkan gurunya? Akan tetapi dia tidak bertanya dan cepat melaksanakan perintah gurunya, mengambil air jernih dalam sebuah piring yang dibawanya masuk lagi ke kamar gurunya lalu meletakkan piring itu di atas lantai di antara mereka.

BACA BAGIAN INI:

“Sendhika, Bapa Guru.” Sutejo tidak bertanya-tanya, melainkan sepenuhnya menaati perintah gurunya. Dia bersila lagi dan bersamadhi mengumpulkan seluruh akal pikirannya dan mengerahkan aji kekebalan untuk melindungi tubuhnya.

“Kulik-kulik-kulik......!” Burung malam itu seperti terbang melewati atas pondok mereka sambil mengeluarkan bunyi yang mengerikan itu.

Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan suara itu dan tetap tenggelam ke dalam samadhinya. Terdengar pula raungan anjing di kejauhan dan kelepak sayap burung di atas rumah, lalu bunyi seperti dua batang tulang dipukul-pukulkan, “Tek-tek-tek-tek!” Menurut dongeng tahyul itu adalah suara setan tetekan.

Akan tetapi semua itu tidak menggoyahkan Sutejo yang tetap tenang dalam samadhinya. Bau kembang menyan semakin menyentuh hidung dan tiba-tiba Sutejo merasa dadanya dan lehernya tertusuk sesuatu yang runcing. Akan tetapi aji kekebalannya menolak tusukan itu dan terdengar suara nyaring berdenting di depannya, di atas piring terisi air jernih itu. Sampai beberapa kali peristiwa itu berulang, namun semua tusukan tidak ada yang mempan ketika mengenai kulit tubuh Sutejo yang sudah dilindungi aji kekebalan Kawoco (Baju Besi) itu.

Kemudian sunyi kembali dan terdengar Bhagawan Sidik Paningal terbatuk tiga kali. Sutejo membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah piring terisi air jernih itu. Dan di dalam air itu, tampak jelas adanya beberapa batang jarum dan paku berserakan di dalam piring! Bhagawan Sidik Paningal membuat gerakan dan ternyata kakek itu melemparkan dua batang cundrik (keris kecil) dari atas pembaringan. Dua batang cundrik itu jatuh ke atas lantai dekat piring dan Sutejo melihat betapa ujung kedua batang cundrik itu berwarna biru kehitaman, tanda bahwa dua batang senjata kecil itu mengandung racun yang amat berbahaya.

“Sadhu-sadhu-sadhu-sadhu...! Keji sekali orang yang menyerang kita dengan ilmu hitamnya.”

Sutejo terbelalak. “Kita diserang orang, Bapa? Jadi beginikah orang menyerang dengan gelap dengan ilmu santet?” Sutejo pernah diceritakan gurunya tentang ilmu hitam dan ilmu santet akan tetapi baru sekarang ini dia menyaksikan sendiri karena diapun menjadi sasaran serangan santet!

Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk. “Bawalah semua itu ke belakang dan tanam dua batang cundrik dan semua paku dan jarum itu ke dalam tanah.”

Tanpa bicara Sutejo melaksanakan perintah gurunya lalu dia duduk kembali di hadapan gurunya.

“Akan tetapi, Bapa. Bukankah Bapa dulu pernah mengatakan bahwa serangan ilmu hitam seperti itu dapat ditangkis dan semua serangannya dapat dikembalikan kepada penyerangnya? Kenapa Bapa malah memerintahkan saya untuk mengubur semua senjata rahasia itu?”

“Kulup, membalas kejahatan dengan kejahatan pula adalah perbuatan sesat. Mereka menyerang dengan santet kepada kita, hal itu jelas merupakan kecurangan dan kejahatan. Kalau sekarang kita menyerang mereka dengan cara yang sama, bukankah itu berarti keadaan kita tidak sama dengan mereka? Tidak, muridku. Dan ingatlah bahwa selama hidupmu engkau tidak boleh melakukan penyerangan dengan ilmu santet yang jahat dan curang itu.”

“Lalu, kalau demikian, apakah kita harus mendiamkan saja perbuatan jahat orang terhadap kita?”

“Jangan khawatir akan hal itu. Yang menjerat seseorang, yang membalas seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Aku percaya bahwa besok pagi penyerangnya sendiri akan datang ke sini. Sekarang beristirahatlah engkau, Sutejo karena besok akan terjadi hal-hal menegangkan yang mungkin akan menguras tenaga kita. Jangan khawatir, biasanya serangan ilmu hitam yang tidak mengenai sasaran tidak akan diulangi dalam semalam. Tidurlah.”

“Sendhika, Bapa.”

Sutejo lalu memasuki kamarnya sendiri. Pondok kayu sederhana itu memang hanya memiliki dua buah kamar yang bersebelahan. Biarpun baru saja menghadapi peristiwa yang menegangkan, namun begitu Sutejo mengambil keputusan untuk menaati gurunya dan tidur, maka segera dia tertidur lelap.

Baca Cerita Serial Lainnya:
☻xxx

0

2

Matahari pagi muncul dengan megahnya. Sinarnya sejak subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Embun pagi bergantungan di ujung-ujung daun bambu. Kabut mulai berterbangan, seolah takut menghadapi sinar matahari yang semakin terang. Burung-burung berkicau dari dahan ke dahan, tampak sibuk dan cerewet dalam persiapan mereka untuk mencari makan hari itu. Tidak lama lagi celoteh mereka akan terhenti dan mereka akan berterbangan ke segenap penjuru untuk mencari makan.

Sinar matahari mulai menyusuri tebing-tebing dan jurang-jurang di pegunungan kawi, menjenguk semua celah dan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi. Sutejo telah bangun sejak ayam jantan berkokok tadi. Dia sudah sibuk bekerja, mengambil air dari sumber dan memenuhi semua gentong dan tempayan tempat air, lalu memasak air untuk membuatkan minuman bagi gurunya. Ketela dan pohung yang diambilnya kemarin masih bersisa banyak dan dia tahu bahwa gurunya suka sekali makan ketela dan pohung yang dibakar, maka diapun membakar beberapa butir pala-kependam itu. Gurunya hanya minum air teh yang encer, tanpa gula. Sambil bekerja, Sutejo selalu waspada. Dia tidak lupa akan kat-kata gurunya bahwa para penyerang gelap dengan ilmu hitam semalam, hari ini tentu akan muncul. Setelah selesai semua pekerjaannya, dia cepat mandi dengan air dingin sehingga tubuhnya terasa segar dan penuh semangat.

Gurunya juga terbangun dan segera pergi ke tempat pemandian di mana telah tersedia air setempayan besar penih. Setelah Bhagawan Sidik Paningal duduk di pendopo rumah itu seperti biasa setiap pagi, Sutejo lalu menghidangkan ketela dan pohung bakar dengan air teh. Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk tanda senangnya hati lalu mulai sarapan sederhana itu. Dia menawarkan kepada Sutejo dan pemuda ini pun menemani gurunya sarapan pagi.

Sinar matahari telah mulai menyentuh pelataran rumah itu ketika mereka melihat datangnya tiga orang itu. Sutejo memandang dengan penuh perhatian. Dia tidak mengenal tiga orang itu. Yang seorang adalah seorang pendet yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau. Pendeta ini berusia kurang lebih enam puluh tahun dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. Orang kedua juga seorang laki-laki tinggi besar yang kumisnya melintang sekepal sebelah, tampak gagah dan juga seram. Dipundaknya tergantung sebatang golok yang sarungnya terukir indah. Adapun orang ketiga
bertubuh kecil pendek, berusia kurang dari orang kedua, paling banyak lima puluh tahun dan dia tampak gesit dan cekatan. Dipinggangnya terselip sebatang keris dan tiga batang pisau belati telanjang.

“Kakang Sidik Paningal!” Pendeta itu berseru memanggil dengan suaranya bukan mengandung salam, melainkan mengandung teguran.

“Ah, andhika yang datang. Adi Jaladara dan tidak tahu siapakan andika, dua orang yang datang bersama adi Jaladara?” tanya Bhagawan Sidik Paningal dengan suara lembut dan wajah mengandung keramahan.

“Aku bernama Ki Warok Petak!” kata orang tinggi besar yang berkumis tebal.

“Dan aku adalah Ki Baka Kroda!” kata orang yang bertubuh kecil pendek. Sikap kedua orang ini ketika memperkenalkan diri begitu angkuh seolah memperkenalkan nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi Sutejo belum pernah mendengar nama-nama itu, bahkan nama Bhagawan Jaladara juga belum pernah didengarnya.

“Selamat datang dan selamat pagi adi Jaladara dan kalian. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mari silakan duduk dan membagi sarapan pagi sekedarnya ini bersamaku.” Kata bhagawan Sidik Paningal dengan suara ramah dan tidak dibuat-buat.

Akan tetapi tiga orang itu tetap berdiri dengan kaki terpentang lebar dan sikap menantang. Bhagawan Jaladara mengelus jenggotnya yang panjang dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut sebelum dia menjawab dengan suara yang kaku.

“Kakang Sidik Paningal, andika tentu tahu bahwa kunjunganku ini bukan untuk sarapan pohung bersamamu dan bukan untuk mengobrol denganmu!”

Bhagawan Sidik Paningal masih sabar dan senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang cerah dan berseri itu. “ Kalian bukan untuk itu, apakah andika berkunjung untuk membicarakan peristiwa semalam. Adi Jaladara?”

Wajah yang sudah hitam itu berubah semakin hitam dan matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar berapi ketika dia meluruskan lehernya dan menatap wajah Bhagawan Sidik Paningal dengan alis berkerut.

“Peristiwa semalam tidak perlu dibicarakan lagi. Andika telah dapat menangkis serangan kami, akan tetapi pagi hari ini, kalau andika tetap tidak mau mendengarkan saran kami, terpaksa kami akan bertindak keras dan tidak memberi ampun kepadamu.”

“Hmm, Adi Jaladara. Coba ulangi apa saranmu itu. Aku sudah hampir lupa.” Kata Bhagawan Sidik Paningal dengan sabar.

“Lupa atau pura-pura lupa? Kami mendengar bahwa andika mulai tertarik dan mempelajari agam baru, berarti andika mengingkari guru kita dan melupakan agama sendiri. Kedua, andika telah menolak untuk diajak bekerja sama membantu Bupati Wirosobo.”

“Ah, itukah yang kau maksudkan? Adi Jaladara, aku adalah seorang manusia yang bebas untuk mempelajari agama apapun juga dan aku melihat bahwa Agama Islam tidak menyimpang dari ajaran-ajaran lama. Bukan berarti aku melupakan agama sendiri. Siapapun tidak berhak untuk melarang aku mempelajari Agama Islam. Bahkan kalau andika mau, ada baik sekali kalau andika juga mempelajarinya sehingga andika akan dituntun kembali ke jalan benar, meninggalkan jalan dursila.”

LANJUTKAN BACA:

0

3

“Kalau Wirosobo mengadakan usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya dengan pembangunan, dengan senang hati aku akan membantu. Akan tetapi kalau diajak untuk memberontak terhadap Mataram, terima kasih, aku tidak suka bekerja sama!”

“Bagus, berarti andika menantang kami!”

“Adi Jaladara, aku adalah kakak seperguruanmu, bagaimana aku akan menantangmu. Aku tidak menantang siapapun juga, akan tetapi juga tidak akan undur selangkahpun kalau ditantang orang.”

“Baik, kalau begitu mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kesaktian!” kata Bhagawan Jaladara sambil membantingkan tongkat hitamnya ke atas tanah. Tampak debu mengepul dan..... tongkat hitam itu telah berubah menjadi seekor ular hitam yang besar dan ular itu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal dengan sikap
mengancam, mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya yang merah.

Dengan tenang Bhagawan Sidik Paningal melepaskan kain pengikat rambutnya dan melemparkan kain itu ke arah ular yang siap menyerangnya sambil berseru dengan suara lembut namun amat berwibawa, “Kembalilah ke asalmu!” Kain pengikat rambut mengenai ular dan kembalilah ujud ular itu menjadi tongkat hitam dan sekali Bhagawan Sidik Paningal menjulurkan tangan kanan, kain pengikat rambut berwarna kuning itu
terbang ke arah tangannya!

Bhagawan Jaladara tidak mau kalah. Dia pun menjulurkan tangan kanannya dan tongkat itu terbang ke tangannya.

“Kakang Bhagawan Jaladara, biarkan aku yang lebih dulu maju menghajar orang tua yang keras kepala ini!” tiba-tiba Ki Baka Kroda yang bertubuh kecil pendek dan yang gerak geriknya gesit itu meloncat ke depan dan melolos kerisnya yang tidak berlekuk akan tetapi cukup panjang itu. “Hayo, Bhagawan Sidik Paningal, kita mengadu
kedigdayaan!”

Bhagawan Sidik Paningal memandang Ki Baka Kroda itu seperti seorang guru memandang muridnya yang sombong. Pada saat itu, Sutejo sudah melangkah ke depan.

“Maaf, Bapa Guru. Mereka datang bertiga menantang Bapa, sungguh tidak adil. Karena itu perkenankan saya mewakili Bapa menghadapi lawan yang sombong ini!”

Bhagawan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepalanya, “Boleh, untuk latihan bagimu, Sutejo. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau melukai parah apa lagi membunuhnya.”

“Sendhika, Bapa. Saya mengerti bahwa ilmu yang saya pelajari bukan untuk menyiksa atau membunuh orang.” Kata Sutejo dan dia sudah melangkah maju menghadapi Ki Baka Kroda sambil mengikatkan sarungnya di pinggang. Pemuda ini tidak memegang senjata apapun, akan tetapi melihat lawannya memegang keris, diapun melepaskan pengikat kepalanya yang berwarna biru dan membiarkan rambutnya terlepas dan berjuntai disekeliling pundaknya.

“Ki Baka Kroda, kalau andika memang ingin mengadu kesaktian, akulah lawanmu mewakili Bapa Guru. Nah, mulailah!” Kata Sutejo sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kain pengikat kepala yang panjangnya sama dengan lengannya itu terpegang di tangan kanannya. Dia memegang sudut kain itu dan begitu diputar, kain itu menjadi segulungan kain yang keras.

“Bocah sombong, engkau sudah bosan hidup! Makanlah senjataku!” tiba-tiba Ki Baka Kroda berseru keras dan dia sudah menyerang dengan kerisnya, menubruk dan keris itu meluncur ke arah dada Sutejo yang bidang. Namun biarpun gerakan Ki Baka Kroda ini sangat cepat, gerakan Sutejo lebih cepat lagi. Pemuda itu mengelak ke kiri
dan dari situ dia menggerakkan tangan kanannya. Gulungan kain pengikat kepala itu berubah menjadi sinar biru yang mencuat dan memukul ke arah hidung Ki Baka Kroda. Orang ini terkejut sekali karena sambaran kain itu mendatangkan angin yang kuat! Dia melompat ke belakang dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat tiga kali dan tiga batang cundrik melayang dan menyambar ke arah leher, dada dan perut Sutejo! Pemuda itu agak terkejut juga, karena serangan itu mendadak dan tidak terduga-duga datangnya!

“Curang!” serunya dan tubuhnya sudah melesat ke samping sehingga tiga batang cundrik itu lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Sutejo kini balas menyerang dengan kain pengikat kepalanya. Biarpun kain itu lemas, namun di tangannya dapat berubah menjadi kaku dan gulugan kain itu berubah seperti sebatang tongkat, atau tombak. Dari gurunya dia memang mendapat gemblengan menggunakan kain pengikat kepala ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dan ilmu silat yang dimainkannya dengan kain itu disebut Sihung Nila (Taring Biru). Begitu Sutejo menggerakan senjatanya itu dan memainkan Sihung Nila, Ki Baka Kroda segera terdesak hebat. Kain itu berubah
menjadi gulungan sinar biru yang mengepungnya dari segenap penjuru sehingga dia hanya menggunakan kerisnya untuk menangkis saja, sambil mengelak ke sana ke mari.

Setelah lewat lima puluh jurus, Sutejo sudah merasa cukup. Melihat keris lawannya menyambar ke arah dadanya, dia cepat mengerahkan aji kekebalan Kawoco.

“Tukk!” keris itu mengenai dadanya akan tetapi tidak dapat menembus kulit dadanya. Ki Baka Kroda terkejut bukan main dan pada saat itu, sinar biru menyambar dan mengenai lehernya. Ki Baka Kroda terbanting dan terpelanting roboh!

Dengan kepala agak pening, Ki Baka Kroda bangkit berdiri, akan tetapi dia maklum bahwa dia telah kalah. Kalau nekat maju lagi, tentu akan mengalami kekalahan kedua dan tidak mau dia menjadi bahan tertawaan. Sambil bersungut-sungut dia lalu mundur ke sebelah Sang Bhagawan Jaladara seperti minta bantuannya.

“Babo-babo, muridmu telah dapat mengalahkan seorang rekanku, kakang Sidik Paningal. Sekarang mari kita yang tua sama tua maju untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang.” Kata Bhagawan Jaladara sambil memalangkan tongkat hitamnya di depan dada.

Bhagawan Sidik Paningal bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan adik seperguruannya. “Adi Jaladara, sejak kecil kita sudah sama-sama digembleng oleh Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru, apakah setelah tua begini kita sama-sama mempergunakan semua ilmu itu untuk saling serang, hanya karena kesalahfahaman sekecil ini? Kalau andika hendak membantu Bupati Wirosobo, silakan dan jangan bawa-bawa aku. Dan tentang agama baru yang kupelajari, engkau tidak perlu memusingkan hal itu karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Adi Jaladara, apakah kita tidak dapat menyudahi saja pertikaian ini, dan menghindarkan diri dari buah tertawaan orang sedunia bahwa ada kakek dan adik seperguruan saling hantam di sini? Apakah hal ini tidak akan menurunkan derajat dan wibawa Bapa Guru Resi Limut Manik?”

“Kakang Sidik Paningal! Kalau engaku berkecil hati dan takut menghadapi aku, lebih baik engkau memenuhi saranku dan mari kita sama-sama membantu Kabupaten Wirosobo sehingga suka duka akan kita alami bersama.”

“Adi Jaladara, seorang pertapa seperti aku ini sudah tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk mencapai kemahsuran, kemuliaan dan kedudukan. Engkau berangkatlah dan lakukan sendiri dan aku akan tinggal bertapa di sini memisahkan diri dari keramaian dunia.”

“Andika berkukuh, kakang Sidik Paningal?”

“Engkau yang berkukuh. Adi Jaladara karena andika yang hendak memaksakan
kehendak.”

“Babo-babo, kalau begitu tidak ada jalan lain kecuali memutuskannya dengan
mengadu kesaktian!”

“Terserah kalau andika menghendaki demikian.”

“Kakang Sidik Paningal, agaknya saat ini sudah merupakan waktunya bagimu untuk meninggalkan dunia ini! Awas serangan tongkatku!” Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengirim serangan hebat. Serangan itu datangnya dahsyat bukan main, mendatangkan angin menderu tanda bahwa tongkat di gerakan oleh tenaga yang amat dahsyat. Sutejo sendiri sampai terkejut melihat hebatnya serangan dari Paman gurunya yang baru pertama kali dijumpainya.

Bhagawan Sidik Paningal cepat mengelak dan seperti juga Sutejo, pendeta ini mengandalkan ikat kepalanya sebagai senjata untuk membela diri. Dia melepaskan kain pengikat kepala dan membiarkan rambutnya yang sudah hampir putih itu terjurai. Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kakek bersama adik seperguruan itu.
Demikian hebatnya perkelahian itu sehingga debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon yang terletak di sekitar tempat perkelahian itu bergoyang-goyang dan banyak daun kuning rontok seperti dilanda angin besar. Sutejo dapat merasakan pula sambaran angin pukulan yang dahsyat dari kedua orang sakti itu.

Setelah mereka bertanding selama hampir satu jam, dari kepala kedua orang kakek itu mengepul uap putih dan keduany sudah mandi keringat. Agaknya ilmu kepandaian mereka memang setingkat. Akan tetapi, perlahan namun pasti, Bhagawan Jaladara mulai terdesar.

LANJUTKAN BACA:

0


You are here » Buku Novel Cerita Serial Silat Indonesia Pendekar Kong ouw » Asmaraman S. Kho Ping Hoo (Silat Indonesia) » Serial Pecut Sakti Bajrakirana » Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 1 hingga Tamat, Asmaraman S. Kho Ping Ho


Sitemap | Buat Web Forum ID Gratis © 2017-2023 IDSosial.NET