Di sini anda dapat membaca secara online buku novel cerita silat Indonesia, Serial Pendekar Cambuk Naga,  episode Racun Puri Iblis, yang dikarang oleh Barata

KARAKTER TOKOH
Nama Tokoh:

https://forumupload.ru/uploads/001b/2b/22/2/205149.jpg
Gambar:
Novel / Cerita Silat Indonesia

Serial Pendekar Cambuk Naga:
Racun Puri Iblis
Karya: Barata

Baca Cerita

CAHAYA petir berkelebat terang di angkasa, bagai hendak merobek langit. Disusul suara guntur bergemuruh, dan Bukit Tanah Iblis bagai bergetar. Hembusan angin kencang bagai mendatangkan selaksa jarum dingin yang menembus tulang. Begitu mencekamnya dingin, namun tak mampu membuat seorang gadis beranjak dari puncak Bukit Tanah Iblis.

https://forumupload.ru/uploads/001b/2b/22/2/677462.jpg

"Sebentar lagi kita akan kehilangan matahari, Putri Ayu. Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke pondok?"

Seorang lelaki pendek bertubuh kekar mengajak bicara gadis asuhannya. Lelaki yang hanya mengenakan baju buntung seperti rompi itu tak lain adalah Ludiro. Sedangkan gadis berbadan kurus yang sejak tadi berdiri tegak menatap cakrawala itu sesungguhnya adalah Putri Ayu Sekar pamikat. Hanya saja, ada sesuatu hal yang membuatnya resah dan merasa janggal dengan mengaku sebagai Putri Ayu Sekar Pamikat. Ia sering menahan nafas di dalam dada jika seseorang mau memanggilnya Sekar Pamikat.

Awan mendung menggulung-gulung, menaungi Bukit Tanah Iblis, yang terletak sebelah barat hutan jati, sebelum hutan itu menjadi pusat kerajaan Majapahit. Dari atas Bukit Tanah Iblis itu, dapat terlihat jalan berbatu yang bagai menyusuri kaki bukit. Sesekali mata Sekar Pamikat tertuju di jalanan itu, bagai ada sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ludiro sendiri juga ikut memperhatikan jalanan berbatu cadas, sesekali menggumam, sering kali menggerutu.

"Saya rasa mereka tidak akan lewat daerah ini, Putri."
"Kalau kau bosan, pulanglah ke pondok lebih dulu. Biar aku sendiri
yang akan menghadapi mereka, Paman Ludiro."

Suara Sekar Pamikat begitu lembut, namun sesungguhnya cukup menggetarkan hati Ludiro. Ia tahu, itu suara geram.

Ludiro tidak beranjak pergi, melainkan justru mendekat ke tebing dan duduk di sebuah batu besar. Punggung Putri Ayu Sekar Pamikat tepat ada di depannya. Pada punggung berkulit mulus itu terlihat sebatang gagang cambuk berkepala naga. Cambuk berwarna hitam melingkar dalam tempat khusus yang diatur sedemikian rupa, sehingga jika ditarik gagangnya, maka cambuk itu akan meluncur deras ke suatu arah. Dan Putri Ayu Sekar Pamikat paling jago menggunakan senjata cambuk itu, daripada menggunakan sebilah pedang yang terselip di pinggang kirinya. Cambuk itu sangat tersohor di dunia persilatan, sehingga dari cambuk itulah maka Putri Ayu Sekar Pamikat mengumandangkan gelarnya sebagai
Pendekar Cambuk Naga.

Mendung kian pekat. Ludiro gelisah, sebab ia paling benci dengan air hujan.

"Bagaimana jika mereka menunda keberangkatan? Apakah kita akan langsung datang ke Kadipaten Jangga?" tanya Ludiro sekedar menghalau
kegelisahannya.

"Kalau memang begitu kenyataan nya, apa boleh buat, Paman Ludiro," jawab Sekar Pamikat tanpa berpaling ke arah Ludiro. Ia tak tahu kalau Ludiro saat itu mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dan mengerti betul apa yang menjadi rencana Sekar Pamikat.

"Lalu, apakah Raden Praja, putra Adipati Jangga itu harus kita bunuh sekalian? Bukankah ia tidak tahu permasalahan yang sebenarnya?"

Kali ini, Sekar Pamikat berpaling memandang Ludiro. "Aku tidak pernah menyuruh Paman untuk membunuh Raden Praja. Aku hanya bermaksud menjelaskan kepadanya siapa sebenarnya Nawang Puri itu. Aku hanya ingin menyarankan agar Raden Praja membatalkan perkawinannya dengan
Nawang Puri. Jika Raden Praja menolak saranku, baru aku akan membunuhnya, Paman."

"Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan orang Kadipaten Jangga, Putri Ayu."
"Apakah kau gentar, Paman Ludiro?" bisik Sekar Pamikat.

BACA BAGIAN INI:

Sebatang anak panah melesat menuju arah mereka. Ludiro menggulingkan tubuhnya ke arah samping, dan kepalanya sempat terbentur batu
sehingga lecet dan memar. Matanya mulai tegang, membelalak memandang Sekar Pamikat yang masih berdiri dengan tenang. Lebih terheran-heran lagi bagi Ludiro, ia melihat anak panah itu berada dalam genggaman Sekar Pamikat.

"Putri...! Awas...!" Ludiro memekik melihat sebatang anak panah melesat Lagi dan kali ini menuju punggung Sekar Pamikat.

Sekar Pamikat masih berdiri memandang Ludiro. Namun tangan kirinya dengan gesit menyambut luncuran anak panah yang nyaris menembus punggungnya. Anak panah itu berhasil ditangkap kendati ia tidak melihat ke arah datangnya benda kecil itu.

Ia membalikkan tubuh, memandang kearah datangnya anak panah itu. Tepat pada saat ia berbalik, ia disambut oleh tiga anak panah yang meluncur sekaligus. Lalu tiga menyusul lagi, dan tiga lagi menyusul beruntun.

"Hiaaatt...!" Sekar Pamikat meloncat kesamping sambil bersalto melingkar. Pada kesempatan itu, sebilah pedang berkelebat dari pinggang Sekar Pamikat, lalu terdengarlah bunyi: "krak, krak, krak..," secara beruntun. Ketika Sekar Pamikat berdiri kembali dengan tegak di atas sebuah batu besar yang datar, ia melihat anak panah itu telah patah semua. Teriris rapi bagai sebuah timun terpotong.

"Mereka ada di bawah!" seru Sekar Pamikat. Lalu tanpa menunggu komando lebih lanjut, Ludiro melayang berjum-
palitan menuruni lereng bukit.

Setibanya di bawah ia disambut oleh sebatang tombak yang nyaris menancap di ubun-ubunnya. Ia berkelit seraya membuang pisau kecil dari balik ikat pinggangnya. "Wess...!" Pisau itu menerjang rerumputan tinggi, menembus terus ke satu arah dan menancap di dada seorang lelaki yang bersembunyi di sana. "Aaaakh...!" Lelaki itu memekik, lalu rubuh. Ludiro hendak memeriksa di balik rerumputan itu, namun tiba-tiba sebuah serangan meluncur dari samping kirinya. Tendangan itu begitu kuatnya sehingga ketika rahang Ludiro terkena, ia terpelanting ke kanan dan jatuh tersungkur.

Dua orang berpakaian kembar itu menerjang dengan tombak mereka. Nyaris mengenai tubuh Ludiro jika ia tidak segera berguling-guling ke tempat lain. Tombak mereka menancap di tanah. Ludiro bergegas bangkit dan melayangkan jurus tendangan ganda yang diberinya nama: jurus Tendangan Dewa.

"Bangsat kalian...!" pekik Ludiro setelah kedua lawannya terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik kesakitan. Pada saat itu, Ludiro hen-
dak menyerang lagi, tapi sebilah pedang menebas arah kepalanya sehingga Ludiro merunduk lalu berguling ke arah kaki lawan. Dengan suatu hentakan keras, kaki Ludiro menendang alat vital salah seorang dari kedua lawannya itu. Orang tersebut menjerit kuat-kuat, pedang di tangannya terlepas. Ludiro tak mau menunggu lawan yang satunya membabat habis tubuhnya, ia segera berdiri dan menghentakkan kakinya di leher orang yang kesakitan pada alat vitalnya. Ludiro tetap menekan leher orang tersebut dengan sebelah kaki ketika musuh yang satu lagi menyerangnya dengan sebilah pedang yang serupa dengan pedang milik temannya. Ludiro nyaris robek dadanya oleh pedang itu. Hanya sebuah goresan tipis yang membekas di dada Ludiro. Untung ia segera mengandalkan jurus Pukulan Hati Dewa, sehingga orang tersebut terpental ke belakang, kepalanya membentur pohon.

Kaki Ludiro yang menekan leher musuhnya dilepaskan, sebab orang itu telah berhenti menggelepar-gelepar dan mati tanpa basa-basi lagi. Ludiro segera menghampiri musuhnya yang sedang keliyengan itu.

"Setan mana kau sebenarnya?! Apa perlunya mengganggu kami, ha?.'" bentak Ludiro.

Orang itu tidak menjawab, namun bahkan melambung ke udara seraya mengayunkan pedangnya berkali-kali. Kecepatan ayunan pedang begitu mengagetkan Ludiro sehingga ia buru-buru berguling ke tanah. Ketika ia bangkit lagi, ia sudah menemukan kekuatan dan kesadarannya. Namun orang bertubuh kekar tadi telah melarikan diri. Langkah larinya begitu cepat dan mengagumkan hati Ludiro.

Walau begitu, ia tetap berusaha untuk mengejarnya melalui arah lain. Ia yakin dapat mencegat orang tersebut. Dan betul juga dugaannya, ia berhasil memotong jalan sehingga lebih cepat berada di jalan depan orang itu. Namun ia terpaksa menggerutu tak jelas, sebab ia melihat Sekar Pamikat sudah berdiri menghadang orang tersebut. Ludiro sendiri melihat betapa beraninya orang itu, menyerang Sekar Pamikat dengan sebilah pedang. Tapi agaknya Sekar Pamikat tidak memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk menyerang kedua kalinya.

"Sreet...!"

Sekar Pamikat mencabut pedangnya. Sekelebat. Cepat. Musuhnya tak sempat terkejut ketika tahu-tahu dadanya robek dan jantung nya pun terbelah menjadi dua bagian oleh ujung pedang Sekar Pamikat. Maka orang itu pun rubuh tanpa sungkan-sungkan lagi. Mati tanpa berkelojot. Sekar Pamikat dengan tenang menyarungkan pedangnya yang bernama Pedang Jalakpati. Tubuhnya yang kurus dengan pakaian bergaya dodotan sebatas dada, dibiarkan dihembus angin pembawa embun hujan. Ludiro mendekatinya dengan langkah-langkah kecewa.

"Maaf, Paman... terpaksa aku percepat masalah ini."
"Itu sama saja menganggap saya tidak mampu mengalahkan orang itu, Putri," Ludiro berbicara bagai orang menggerutu. Ia masih memandangi mayat musuhnya.

"Bukan soal tidak mampu, tapi lebih cepat lebih baik. Sebab sebentar lagi daerah ini akan dilalui rombongan Raden Praja yang akan berembuk soal perkawinannya dengan Nawang Puri"

Baca Cerita Serial Lainnya:
Serial Suro Bodong