Buku Novel Cerita Serial Silat Indonesia Pendekar Kong ouw

User info

Welcome, Guest! Please login or register.


You are here » Buku Novel Cerita Serial Silat Indonesia Pendekar Kong ouw » Bastian Tito (Serial Wiro Sableng) » Episode Empat Berewok Dari Goa Sanggreng » Maut Bernyanyi di Pajajaran Wiro Sableng Pendekar Kapak Naga Geni 212


Maut Bernyanyi di Pajajaran Wiro Sableng Pendekar Kapak Naga Geni 212

Posts 1 to 2 of 2

1

Di sini anda bisa membaca isi buku novel cerita silat serial Wiro Sableng secara online episode Maut Bernyanyi di Pajajaran. Cerita silat yang seru lucu dan menegangkan serta bisa anda baca kapan saja.

KARAKTER TOKOH
Nama Tokoh:

https://forumupload.ru/uploads/001b/2b/22/2/665155.png
Gambar:
Komik / Wiro Sableng

Koleksi Cerita Silat Indonesia:
Maut Bernyanyi di Pajajaran
Karya: Bastian Tito

Baca Cerita

Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup pemandangan beberapa saat lamanya.

Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang datang dari pedataran.

Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti! Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit.

Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!....

Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahu-tahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!

Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku!

Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya.

Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebar-lebar dan lebat.

BACA BAGIAN INI:

Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter.

Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon!

Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon.

Sekurang-kurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa!

Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksud-maksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.

“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.

“Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?”

Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi. “Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari “kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan.

Si pemuda tersenyum. “Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu.... Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angini”

“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula. “Aku sudah lihat kau sejak dari ujung  pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?” 

Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.

“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.

“He... he... he...,” Dewa Tuak girang sekali. “Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau lihat dengan jelas!”

Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.

“Kau biasa minum tuak, anak muda?”. Si pemuda itu menjawab. “Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.

“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan: “Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!”

Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!

“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari
kahyangan!“.

Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu...”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok...,” kata Dewa Tuak pula. “Dan rampoknya orang situ-situ juga”

Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan?

Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata: “Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya...”

Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda: “Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”

“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu... !”

Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut. “Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!”

Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan Dewa Tuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.

“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”

“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”.

Si pemuda tersenyum. “Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu...”.

Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu. “Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”.

Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat: “Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!”

Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.

“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku...Mari...”

Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda: “Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!”

Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh.

Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.

“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana...?” Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.

“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda. “Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!”

Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru: “Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”.

Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.

“Krak”

Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya. “Sayang... sayang...,” katanya. “Sayang aku tak dapatkan itu pemuda...”.

Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung.

Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi.

Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah
dengan gelar: “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...”!

https://forumupload.ru/uploads/001b/2b/22/2/363808.png
Dewa Tuak dan Muridnya Anggini

Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya. “Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan...”

“Tapi guru...”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau ... dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!”

Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!

Baca Cerita Wiro Sableng Lainnya:
Empat Berewok Dari Goa Sanggreng Wiro Sableng

0

2

Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam.

Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas.

Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing!

Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni. Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup berewok.

Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.

Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara. Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.

“Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”. Orang yang ditanya kerutkan kening.

“Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...?!”. Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.

“Aku merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua...!,” menyahuti si pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya. Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciri-ciri yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi.

Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah Wiro.

BACA BAGIAN INI:

Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro Sableng. “Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng...: Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan keblinger...!”

“Jaga mulutmu, orang tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diam-diam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.

“Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih pantas ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!”

Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam pembuluhnya. “Orang tua!,” serunya. “Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil berlumut...?!”

Si berewok kaki buntung tertawa dingin. “Barangkali kau belum tahu kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?”

Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung. “Kadangkala manusia keliwat pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!,” sahutnya. “Tapi tak apa... aku tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”.

Si orang tua tertawa berkekeh. “Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang...”

“Bukan aku yang bunuh...!”.
“Tapi kau turut bertanggung jawab!” Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro.”Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah datang untuk menerima tantanganmu!”

Bergola Wungu tertawa mengejek.
“Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan ! di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”

“Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”

Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia. Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung. “Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!”.

Wiro Sableng tertawa-tawa. “Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan pertempuran? Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan....” Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain “Tapi aku ingin tahu nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”.

Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu. “Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku... akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.

Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat).

Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa bergelak: “Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!”

Bladra Wikuyana bersuit marah. “Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini...!”.

“Wuuuuuutt”!

Tongkat birunya disapukan ke bawah!

0


You are here » Buku Novel Cerita Serial Silat Indonesia Pendekar Kong ouw » Bastian Tito (Serial Wiro Sableng) » Episode Empat Berewok Dari Goa Sanggreng » Maut Bernyanyi di Pajajaran Wiro Sableng Pendekar Kapak Naga Geni 212


Sitemap | Buat Web Forum ID Gratis © 2017-2023 IDSosial.NET