Di sini anda bisa membaca secara online cerita silat serial Pecut Sakti Bajrakirana yang dikarang oleh penulis cerita silat terkenal yang bernama Asmaraman S. Kho Ping Hoo. | ||
KATEGORI |
|
Baca Cerita |
Malam Jumat kliwon yang gelap pekat dan menyeramkan dalam tahun 1613. Dilereng Gunung Kawi yang sunyi sepi itu suasananya demikian angker dan menyeramkan. Sebuah pondok kayu yang berdiri di lereng sebelah timur tampak sunyi diselimuti malam. Hanya sebuah lampu gantung kecil menerangi depan pondok, sinarnya yang lemah menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan, menjadikan rupa-rupa bentuk yang mengerikan. Pohon-pohon besar di sekitarnya yang tersapu angin malam tampak seolah-olah menjadi hidup dan bergerak-gerak.
“Kulik-kulik-kulik......!” Suara burung malam yang terdengar lapat-lapat menambah seram suasana dan bau kemenyan menyengat hidung. Bau kemenyan ini mengingatkan orang-orang mati dan setan iblis belasakan.
Terpisah dua lereng di bawah pondok itu lapat-lapat dapat terdengar suara anjing meraung, datang dari arah dusun di sana yang tampak lampunya berkelap-kelip dari lereng di pondok itu. Tentu malam itu tak seorang pun dari para penduduk dusun itu berani keluar, karena telah menjadi kepercayaan turun temurun bahwa malam Jumat kliwon adalah malamnya bangsa setan demit dan iblis yang berkeliaran di permukaan muka bumi untuk menggoda manusia.
Di dalam pondok kayu itu pun suasananya sepi sekali seolah pondok itu tidak ada penghuninya. Padahal penghuni pondok itu sedang duduk bersila di atas pembaringannya. Seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun, rambutnya yang sudah hampir putih semua itu digelung ke atas dan diikat kain berwarna kuning. Jubahnya seperti jubah pendeta yang berwarna putih dan hanya merupakan pakaina yang amat sederhana. Wajahnya masih tampak segar seperti wajah seorang muda saja, terutama sekali sepasang matanya yang lembut itu kadang mengeluarkan cahaya mencorong, menandakan bahwa dia seorang pendeta atau pertapa yang memiliki kesaktian dan tenaga dalam yang amat kuat.
Dari pintu kamarnya muncuk seorang pemuda yang segera duduk bersila di bawah pembaringan. Melihat pertapa itu seperti orang dalama samadhi, pemuda itu tidak berani menggangunya, hanya duduk diam seperti gurunya, bersila dan memangku kedua tangan. Tak lama kemudian keduanya sudah tenggelam ke dalam samadhi mereka dan suasana menjadi semakin sunyi. Siapakah pendeta itu? Dia seorang pertapa yang sudah bertahun-tahun bertapa di lereng Gunung Kawi. Namanya disebut orang Bhagawan Sidik Paningal. Seorang tua yang bertubuh jangkung kurus, yang mukanya masih segar seperti muka orang muda dan wajah itu masih terdapat bekas wajah seorang pria yang tampan dan lembut. Adapun pemuda yang duduk bersila di bawah pemabaringan itu adalah Sutejo, muridnya yang terkasih. Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang dan kedua pundak dan lengannya tampak kokoh kuat. Wajahnya tampan dengan sepasang mata lebar yang memandang dunia dengan sinar mata cerah dan penuh semangat, sepasang alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengandung senyum yang ramah. Dagunya berlekuk menambah kejantanan wajah itu, dan kulit tubuhnya juga bersih kemuning. Rambutnya panjang ditekuk dan digelung ke atas, diikat dengan sehelai kain biru. Bajunya berlengan penadek sebatas siku, celananya hitam sampai ke betis dan sehelai sarung dikalungkan di pundak kiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia menghadap gurunya bersamadhi, diapun tidak berani menggangu, hanya mengikuti contoh gurunya, ikut pula bersamadhi di depan gurunya.
Tiba-tiba Bhagawan Sidik Paningal terbatuk-batuk tiga kali. Batuk yang lebih merupakan isyarat kepada muridnya yang berada di depannya bahwa dia kini sudah sadar dari samadhinya dan isyarat itupun bertanya apa keperluan muridnya memasuki kamarnya dan menghadap.
Sutejo menangkap isyarat itu dan menyembah. “Mohon maaf Bapa, bahwa saya berani menghadap dan mengganggu samadhi Bapa. Akan tetapi, Bapa, sejak senja tadi,saya merasakan sesuatu yang aneh, suasana yang berlainan sekali daripada malam-malam yang lain. Seluruh perasaan saya tergugah, bahkan batin saya merasa terkacau oleh suatu tenaga yang rahasia. Karena itu saya berani mengganggu Bapa untuk minta penjelasan apa artinya semua yang saya rasakan pada saat ini.”
“Hong wilaheng.... Andika juga merasakan itu, Sutejo? Bagus, hal itu menunjukkan bahwa andika telah memiliki kepekaan. Memang apa yang andika rasakan itu ada sebabnya, cukup. Sekarang cepatlah engkau pergi ke belakang, mengambil air jernih sepiring dan letakan piring itu di depan kita di sini. Cepat, mereka telah mulai menyerang!”
Sutejo terkejut. Siapa yang mulai menyerang? Dan menyerang bagaimana yang dimaksudkan gurunya? Akan tetapi dia tidak bertanya dan cepat melaksanakan perintah gurunya, mengambil air jernih dalam sebuah piring yang dibawanya masuk lagi ke kamar gurunya lalu meletakkan piring itu di atas lantai di antara mereka.
“Sendhika, Bapa Guru.” Sutejo tidak bertanya-tanya, melainkan sepenuhnya menaati perintah gurunya. Dia bersila lagi dan bersamadhi mengumpulkan seluruh akal pikirannya dan mengerahkan aji kekebalan untuk melindungi tubuhnya.
“Kulik-kulik-kulik......!” Burung malam itu seperti terbang melewati atas pondok mereka sambil mengeluarkan bunyi yang mengerikan itu.
Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan suara itu dan tetap tenggelam ke dalam samadhinya. Terdengar pula raungan anjing di kejauhan dan kelepak sayap burung di atas rumah, lalu bunyi seperti dua batang tulang dipukul-pukulkan, “Tek-tek-tek-tek!” Menurut dongeng tahyul itu adalah suara setan tetekan.
Akan tetapi semua itu tidak menggoyahkan Sutejo yang tetap tenang dalam samadhinya. Bau kembang menyan semakin menyentuh hidung dan tiba-tiba Sutejo merasa dadanya dan lehernya tertusuk sesuatu yang runcing. Akan tetapi aji kekebalannya menolak tusukan itu dan terdengar suara nyaring berdenting di depannya, di atas piring terisi air jernih itu. Sampai beberapa kali peristiwa itu berulang, namun semua tusukan tidak ada yang mempan ketika mengenai kulit tubuh Sutejo yang sudah dilindungi aji kekebalan Kawoco (Baju Besi) itu.
Kemudian sunyi kembali dan terdengar Bhagawan Sidik Paningal terbatuk tiga kali. Sutejo membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah piring terisi air jernih itu. Dan di dalam air itu, tampak jelas adanya beberapa batang jarum dan paku berserakan di dalam piring! Bhagawan Sidik Paningal membuat gerakan dan ternyata kakek itu melemparkan dua batang cundrik (keris kecil) dari atas pembaringan. Dua batang cundrik itu jatuh ke atas lantai dekat piring dan Sutejo melihat betapa ujung kedua batang cundrik itu berwarna biru kehitaman, tanda bahwa dua batang senjata kecil itu mengandung racun yang amat berbahaya.
“Sadhu-sadhu-sadhu-sadhu...! Keji sekali orang yang menyerang kita dengan ilmu hitamnya.”
Sutejo terbelalak. “Kita diserang orang, Bapa? Jadi beginikah orang menyerang dengan gelap dengan ilmu santet?” Sutejo pernah diceritakan gurunya tentang ilmu hitam dan ilmu santet akan tetapi baru sekarang ini dia menyaksikan sendiri karena diapun menjadi sasaran serangan santet!
Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk. “Bawalah semua itu ke belakang dan tanam dua batang cundrik dan semua paku dan jarum itu ke dalam tanah.”
Tanpa bicara Sutejo melaksanakan perintah gurunya lalu dia duduk kembali di hadapan gurunya.
“Akan tetapi, Bapa. Bukankah Bapa dulu pernah mengatakan bahwa serangan ilmu hitam seperti itu dapat ditangkis dan semua serangannya dapat dikembalikan kepada penyerangnya? Kenapa Bapa malah memerintahkan saya untuk mengubur semua senjata rahasia itu?”
“Kulup, membalas kejahatan dengan kejahatan pula adalah perbuatan sesat. Mereka menyerang dengan santet kepada kita, hal itu jelas merupakan kecurangan dan kejahatan. Kalau sekarang kita menyerang mereka dengan cara yang sama, bukankah itu berarti keadaan kita tidak sama dengan mereka? Tidak, muridku. Dan ingatlah bahwa selama hidupmu engkau tidak boleh melakukan penyerangan dengan ilmu santet yang jahat dan curang itu.”
“Lalu, kalau demikian, apakah kita harus mendiamkan saja perbuatan jahat orang terhadap kita?”
“Jangan khawatir akan hal itu. Yang menjerat seseorang, yang membalas seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Aku percaya bahwa besok pagi penyerangnya sendiri akan datang ke sini. Sekarang beristirahatlah engkau, Sutejo karena besok akan terjadi hal-hal menegangkan yang mungkin akan menguras tenaga kita. Jangan khawatir, biasanya serangan ilmu hitam yang tidak mengenai sasaran tidak akan diulangi dalam semalam. Tidurlah.”
“Sendhika, Bapa.”
Sutejo lalu memasuki kamarnya sendiri. Pondok kayu sederhana itu memang hanya memiliki dua buah kamar yang bersebelahan. Biarpun baru saja menghadapi peristiwa yang menegangkan, namun begitu Sutejo mengambil keputusan untuk menaati gurunya dan tidur, maka segera dia tertidur lelap.
Baca Cerita Serial Lainnya:
☻xxx